Ini
dwilogi apa trilogi sih. Baca judulnya aja udah njlimet. Hehe sebenernya
sengaja dibikin begitu. Ceritanya gini, kata penulisnya sih buku semi biografi
tentang Dahlan Iskan bakalan ada 3 sekuel. Nah yang baru cetak dan baru gw baca
itu 2 buku doank. Nah makanya dinamakan
dwilogi padahal sebenernya trilogi.
Buku tentang Dahlan Iskan yang
pertama itu judulnya Sepatu Dahlan. Menurut gw di buku yang pertama ini
dijelasin masa kecilnya Dahlan Iskan. Gimana sekolahnya, temen-temennya
(terlepas apakah itu fiksi atau real), buku pertama ini sukses menggambarkan
Dahlan kecil beserta impiannya buat dapetin sepatu baru.
Gaya kepenulisan dibuku pertama ini
juga udah menggambarkan kalo yang cerita itu anak kecil seusia SD. Yang bikin
gw takjub adalah, walaupun keseluruhan bukun pertama ini mengungkap masa kecil.
Banyak banget nilai yang bisa dipetik tanpa maksud menggurui.
Jujur aja, abis baca buku pertamanya
gw semacam dapet pencerahan hidup. Tadinya sempet pesimis liat tuh buku karena
gw lagi ga mood baca. Tapi akhirnya semua mengalir aja. Gw jadi lebih bersyukur
atas apa yang gw punya sekarang ini. Dan gw g nyangka dibalik kepolosan seorang
anak kecil yang hanya seusia SD ternyata mempunyai kemampuan berpikir dan
bersikap jauh melebihi usianya.
Contohnya, saat Dahlan harus
bertanggung jawab penuh atas adiknya saat ibunya meninggal, Dahlan rela
berkorban tidak makan karena adiknya kelaparan. Kemudian saat pertandinga voli
antar sekolah yang mengharuskan setiap pesertanya memakai sepatu, Dahlan tetap
datang ke pertandingan walaupun ga punya sepatu. Bagi sebagian anak kecil
mungkin peraturan seperti itu malah membuat mereka memilih ga ikut
pertandingan. Tapi Dahlan seolah ga terpengaruh sama sekali dengan peraturannya
dan tetap memilih datang serta mencari solusi atas masalah.
Lanjut ke buku kedua yang berjudul
Surat Dahlan. Disini sudah terlihat sekali perkembangan karakter antara Dahlan
kecil dengan Dahlan yang menginjak bangku kuliah.
Dari sisi penulisan, gaya bahasa,
dan pemilihan kata turut menentukan karater Dahlan remaja. Penuh pemberontakan,
sikap kritis yang luar biasa, sampai dengan perbuatan nekad.
Contohnya, saat Dahlan memprotes
salah satu aturan dosen yang mengharuskan mahasiswanya memakai kemeja saat
belajar. Bukannya berusaha mendapatkan kemeja, melainkan dia menggelar aksi
demo di kelasnya. Sehingga sang dosen marah.
Dan masih banyak lagi aksi-aksi
nekad lainnya. Hingga akhirnya Dahlan yang terlalu aktif di organisasi kampus
dituduh sebagai pemberontak dan merencanakan makar. Ia dan teman-temannya
menjadi buronan TNI.
Intrik dan kisah asmara pun menjadi
bumbu yang masih laku untuk dijual. Jika pada buku pertama, Dahlan dikisahkan
dekat dengan Aisha bahkan bisa dibilang tergila-gila. Maka pada buku kedua ini
Dahlan dihadapkan pada banyak pilihan. Pada satu sisi, konflik dengan Aisha
tetap terjalin karena hal itulah yang membuat Dahlan merantau ke Kalimantan
demi mendapatkan gelar sarjana. Tapi di sisi lain Dahlan seolah kehilangan
tenaga untuk mengejar mimpinya. Sementara itu, datanglah teman SDnya, Maryati,
yang dulu sangat menyukai Dahlan. Demi cintanya dia sampai menyusul Dahlan ke
Kalimantan. Sayangnya yang didapatkan hanya penolakan.
Di buku kedua ini, lebih digambarkan
bagaimana perubahan-perubahan pola pikir Dahlan dalam mengatasi sebuah masalah.
Termasuk pada saat Dahlan bekerja sebagai wartawan. Kecepatan pengambilan
keputusan dan memilih resiko yang harus dihadapi, menarik untuk diikuti.
Boleh dibilang, novel atau semi
biografi, atau apapun namanya, merupakan suatu buku yang layak dibaca. Terutama
bagi jiwa-jiwa yang memang sedang jenuh menghadapi rutinitas, buku ini bagai
morning booster. Dan gw ga sabar untuk baca buku terakhir yang berjudul Senyum
Dahlan.